Petitum Permohonan |
Perihal : Permohonan PRA Peradilan
Dengan hormat,
Kami,
Ristan BP Simbolon SH MH, Erdiana SH MH, Mulyono SH MHum, Handojo Dhanudibroto SE SH MM, Allen Gatan SH, Hilda Warokah SH dan Najmi Salsabila SH. yang kesemuanya adalah para Advokat dan Advokat magang yang tergabung dalam Kantor Hukum IDCC & Associates;
dan
Eko Juniarso., SH., MH dan Maulana Abdillah., SH., S.Sos yang kesemuanya adalah para advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Eko Juniarso., SH., MH & Partners;
dan
Dr. Dyah Ersita Yustanti SH MH., Dian Swastika., SH, Miracle Maryo Aektio Adijayato Sixtus Sihombing SH., Jati Restu., SH., M.Kn; yang kesemuanya adalah para advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Dyah Ersita Prastowo & Partners (DEPP).
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 28 Februari 2024,
dan dalam hal ini secara bersama-sama sepakat untuk memilih domisili hukum dalam permohonan pra-peradilan a quo yang digunakan adalah sebagai berikut:
Jalan Jend. Sudirman 511 RT 08 RW 03, Kepanjin, Sumenep, Pulau Madura, Propinsi Jawa Timur; ---------------------------------------------------------
Sehingga dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama:
Ir. EDWIN FITRIANTO., MM
Dengan alamat Jalan Bhakti Husada Gang 1 No. 9 Rt. 11, Rw. 05, Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya - Jawa Timur qq. Rutan Klas II B Sumenep; dan untuk selanjutnya disebut sebagai
P E M O H O N I
dan
TEGUH LAKSONO.,
dengan alamat Jalan Puskesmas RT/RW. 003/003, Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur qq. Rutan Klas II B Sumenep, dan untuk selanjutnya; dan untuk selanjutnya disebut sebagai
P E M O H O N II
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II mengajukan Permohonan PRA-Peradilan terhadap:
Pemerintah RI cq Presiden RI cq Jaksa Agung RI cq JAMPidsus pada Kejaksaan Agung RI cq Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur cq Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep cq. Tim Penyidik Perkara Tipikor – Sprindik:
1. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I;
2. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II;
d/a Jl. KH. Mansyur No. 54, Kabupaten Sumenep - Madura, Jawa Timur 69417;
dan untuk selanjutnya disebut sebagai T E R M O H O N
Pemerintah RI cq Presiden RI cq Jaksa Agung RI cq JAMPidsus pada Kejaksaan Agung RI cq Ka.Jati Jawa Timur cq Ka.Jari Sumenep cq. Tim Jaksa Peneliti Perkara Tindak Pidana Korupsi - Sprindik
1. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I;
2. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II
d/a Jl. KH. Mansyur No. 54, Kabupaten Sumenep - Madura, Jawa Timur 69417;
dan untuk selanjutnya disebut sebagai TURUT TERMOHON
DASAR PERMOHONAN
Bahwa dasar dari permohonan pra-peradilan a quo yang diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II adalah sebagai berikut:
1. Pasal 1 butir (10) KUHAP mengenai "wewenang praperadilan";
2. Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP mengenai "Praperadilan";
3. Pasal 95 KUHAP dan Pasal 96 KUHAP mengenai "ganti kerugian";
4. Pasal 124 KUHAP mengenai "kompetensi relatif dari pengadilan yang berwewenang memeriksa dan mengadili suatu permohonan praperadilan";
5. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.21/PUU-XII/2014 tgl. 28 April 2015 mengenai "Penetapan Tersangka Harus Didasari Sekurangnya 2 (dua) Bukti Permulaan";
6. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.130/PUU-XIII/2015 tgl. 11 Januari 2017 mengenai "kewajiban penyidik menyampaikan SPDP kepada TERLAPOR maksimal 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan";
7. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.25/PUU-XIV/2016 tgl. 25 Januari 2017 mengenai "kerugian keuangan Negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) - UU Tipikor dan pasal 3 - UU Tipikor haruslah berupa kerugian yang nyata dan pasti";
8. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.77/PUU-IX/2011 tgl. 25 September 2012 mengenai "Piutang BUMN tidak lagi merupakan Piutang Negara sehingga Kerugian BUMN adalah tidak lagi menjadi kerugian Negara, mengingat pasal 4 ayat (1) - UU RI No. 19 tahun 2003 tentang "BUMN";
9. UU RI No. 19 tahun 2003 tentang "BUMN" -vide- Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: "modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan";
10. UU RI No. 17 tahun 2003 tentang "Keuangan Negara";
11. UU RI No. 40 tahun 2007 tentang "Perseroan Terbatas";
12. UU RI No. 28 tahun 1999 tentang "Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme";
13. SEMA RI No.10 tahun 2020 tentang "Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan" -vide- Bagian A angka 4, RUMUSAN KAMAR PIDANA - yang berbunyi sebagai berikut: "kerugian yang timbul pada anak perusahaan BUMN / BUMD yang modalnya bukan bersumber dari APBN / APBD atau bukan penyertaan modal dari BUMN / BUMD dan tidak menerima/menggunakan fasilitas Negara, bukan termasuk kerugian keuangan Negara;
14. Bagian A angka 6, RUMUSAN HUKUM KAMAR PIDANA - SEMA RI No. 4 Tahun 2016 tentang "Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan" yang berbunyi sebagai berikut: "Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara";
15. Pasal 28D ayat (1) - UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum";
16. 28I ayat (2) - UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu";
LEGAL STANDING PEMOHON I dan PEMOHON II
Bahwa pada pemeriksaan le 2 sebagai saksi tanggal 20 Februari 2023, Pemohon I dan Pemohon II telah langsung ditetapkan berstatus TERSANGKA oleh Termohon dan Turut Termohon, berdasarkan:
a. Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I;
b. Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II;
-vide- Bukti: P-1 dan P-2;
dan sejak tanggal 20 Februari 2024 itu pula telah langsung seketika dilakukan penahanan atas diri Pemohon I dan Pemohon II pada hari yang sama ditetapkan sebagai Tersangka; yaitu berdasarkan:
1. Surat Perintah Penahanan No. Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I dan
2. Surat Perintah Penahanan No. Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II,
-vide- Bukti: P-3 dan P-4
sehingga dengan demikian Legal Standing Pemohon I dan Pemohon II adalah telah memenuhi persyaratan sebagai Pemohon I dan Pemohon II dalam Permohonan Pra Peradilan.
-vide- pasal 79 KUHAP, yakni sebagai berikut:
"permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau suatu penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya"
bahwa dengan demikian, Pemohon I dan Pemohon II telah memiliki "legal standing" untuk mengajukan permohonan pra peradilan a quo, karena telah berstatus "Tersangka".
KOMPETENSI RELATIF PENGADILAN NEGERI
Bahwa permohonan pra peradilan ini diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II ke Pengadilan Negeri Sumenep Kelas II adalah berdasarkan Pasal 124 KUHAP yakni sebagai berikut:
“Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.”
Bahwa saat ini terhadap diri Pemohon I dan Pemohon II telah dilakukan penyidikan, penetapan sebagai Tersangka serta langsung seketika dilakukan penahanan oleh Termohon dan Turut Termohon, yang kesemuanya dilakukan di lokasi Kantor Termohon dan Turut Termohon yakni di Kantor Kejaksaan Negeri Sumenep, Jl. KH. Mansyur No.54, Sumenep, Jawa Timur;
Bahwa sehingga dengan demikian, maka Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili Permohonan Pra peradilan ini adalah:
“PENGADILAN NEGERI SUMENEP”
PENYELENGGARAAN PEMERIKSAAN SIDANG PERMOHONAN PRA-PERADILAN
Bahwa acara dari pemeriksaan Permohonan pra peradilan telah diatur dalam -vide- Pasal 82 KUHAP yakni sebagai berikut:
(1) acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan pra peradilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan pra peradilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya;
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal-hal sebagai berikut:
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
ad 1. Pasal 82 ayat (1) huruf a
dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang,
- Bahwa maksimal 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya permohonan pra-peradilan, maka Hakim yang ditunjuk akan menerbitkan relaas untuk menetapkan hari sidang PERTAMA dan akan tercantum pada SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) yakni, sebagai pemenuhan keterbukaan informasi dan atau untuk memenuhi asas notoire feiten notorious (generally known);
- Bahwa relaas penetapan hari sidang pertama, akan sekaligus memuat pemanggilan pihak Pemohon I dan Pemohon II, Termohon dan Turut Termohon dari Permohonan pra peradilan a quo;
- Bahwa dengan demikian, hari sidang PERTAMA tidaklah boleh ditafsirkan lain, selain daripada hari sidang ketika Hakim yang memimpin menyatakan sidang permohonan pra peradilan dibuka, dan TIDAK DIBENARkan untuk ditafsirkan bahwa hari sidang pertama adalah "ketika" permohonan pra peradilan baru dibacakan;
ad 2. Pasal 82 ayat (1) huruf c
pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya,
- Bahwa maksimal 7 (tujuh) hari Hakim sudah harus menjatuhkan putusannya tidak pula boleh ditafsirkan lain, yaitu pemahaman umum sebagaimana misalnya sebagai berikut:
1 (satu) tahun adalah 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari kalender untuk non-kabisat, dan BUKAN atau tidak boleh ditafsirkan sebagai 365 (tiga ratus enam puluh lima) hari kerja;
1 (satu) bulan adalah 30 (tiga puluh) hari kalender, BUKAN atau tidak boleh ditafsirkan sebagai 30 (tiga) puluh hari kerja;
upaya hukum banding untuk perkara pidana adalah 7 (tujuh) hari kalender, dan BUKAN atau tidak boleh ditafsirkan sebagai 7 (tujuh) hari kerja;
upaya hukum kasasi adalah 14 (empat belas) hari kalender, dan BUKAN atau tidak boleh ditafsirkan sebagai 14 (empat belas) hari kerja;
- Bahwa sehingga dengan demikian, maka permohonan pra peradilan WAJIB untuk diputus oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan pra peradilan, dengan adalah tenggang waktu maksimal selama 7 (tujuh) hari kalender, yakni: "terhitung sejak tanggal penetapan Hari Sidang Pertama sebagaimana yang tercantum pada SIPP" incasu SIPP Pengadilan Negeri Sumenep, sehingga TIDAK DIPERKENANKAN untuk ditafsirkan lain, yakni terhitung sejak permohonan pra peradilan baru dibacakan;
- Bahwa berdasarkan fakta empiris, pihak-pihak yang diajukan sebagai Termohon sering-kali meminta penundaan pembacaan permohonan pra-peradilan bahkan melampaui dari 7 (tujuh) hari,
d a n,
hal tersebut perlu Pemohon antisipasi untuk terlebih dahulu menyatakan keberatan, apabila ternyata Termohon dan Turut Termohon melakukannya, oleh karena hal tersebut adalah jelas merupakan perbuatan melawan hukum melanggar -vide- pasal 82 ayat (1) Huruf c KUHAP
s e r t a,
dapat dipandang sebagai perbuatan atau upaya-upaya mengkerdilkan penegakan hukum, pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia dari Pemohon secara terang-terangan dan atau dapat dipandang dan dimaknai pula sebagai suatu tindakan yang dikategorikan "contempt of court" yang telah dilakukan oleh Termohon dan Turut Termohon;
ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa alasan Permohonan Pra Peradilan a quo diajukan oleh Pemohon I dan Pemohon II adalah sebagai berikut:
"Penyidikan, Penetapan Sebagai Tersangka dan Penahanan Atas Diri Pemohon I dan Pemohon II Yang Dilakukan Oleh Termohon dan Turut Termohon Adalah TIDAK SAH, TIDAK berdasarkan dan atau TIDAK Bersesuaian dan atau MELANGGAR Hukum / Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku,
Y A K N I :
I. Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.21/PUU-XII/2014 tgl. 28 April 2015 mengenai "Penetapan Tersangka Harus Didasari Sekurangnya 2 (dua) Bukti Permulaan";
II. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.130/PUU-XIII/2015 tgl. 11 Januari 2017 mengenai "kewajiban penyidik menyampaikan SPDP kepada TERLAPOR maksimal 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan";
III. Penyidikan, Penetapan Sebagai Tersangka serta Penahanan Atas Diri Pemohon I dan Pemohon II Yang Dilakukan Oleh Termohon Adalah TIDAK SAH, TIDAK berdasarkan dan atau TIDAK Bersesuaian dan atau MELANGGAR Hukum / Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku karena Telah Terjadi Error in Persona dengan Menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka dan Telah Terjadi Kekeliruan Penerapan Hukum atau Hukum Telah Secara Keliru Diterapkan Mengenai Syarat Formiil dalam penyidikan suatu Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Sprindik sebagai berikut:
1. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
2. No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
Bahwa untuk selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II akan menguraikan alasan-alasan Permohonan Pra Peradilan a quo yakni sebagai berikut:
Penyidikan, Penetapan Sebagai Tersangka serta Penahanan Atas Diri Pemohon I dan Pemohon II Yang Dilakukan Oleh Termohon dan Turut Termohon Adalah TIDAK SAH, TIDAK berdasarkan dan atau TIDAK Bersesuaian dan atau MELANGGAR Hukum / Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku karena Telah Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.21/PUU-XII/2014 tgl. 28 April 2015 mengenai "Penetapan Tersangka Harus Didasari Sekurangnya 2 (dua) Bukti Permulaan";
Bahwa Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewenangan pra peradilan yakni mengenai "Penetapan Tersangka Harus Didasari Sekurangnya 2 (dua) Bukti Permulaan" yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.21/PUU-XII/2014 tgl. 28 April 2015 yang amar putusannya adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Untuk Sebagian:
1.1. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.2. Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.3. Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan;
Hakim yang kami muliakan
Yth., Sdr. Termohon dan Turut Termohon
Sidang Yang Mulia
Bahwa penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial dan substansial dalam negara hukum, meliputi pengertian yang bersifat makro dan mikro; bersifat makro: "mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara", sedangkan dalam pengertian mikro: "terbatas dalam proses pemeriksaan pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap";
Bahwa pengertian penegakan hukum adalah:
"upaya yang dilakukan untuk melaksanakan suatu aturan, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparat penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara";
Bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pasific Indonesia atas nama Bachtiar Abdul Fatah;
Bahwa Putusan tersebut menegaskan ketentuan pra peradilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
"Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan";
Bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” demikian sebagian Pertimbangan Hukumnya;
Bahwa hakikat keberadaan pranata pra peradilan, adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia.
Bahwa namun dalam perjalanannya, lembaga pra peradilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi, dan “fungsi pengawasan pranata pra peradilan hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan";
Bahwa pengajuan pra peradilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang didalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.
Bahwa sehingga dengan demikian, “Mahkamah Konstitusi berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata pra peradilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum";
Dua Alat Bukti Permulaan
Bahwa selain itu, dalam putusan perkara nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:
frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Bahwa ketentuan dalam KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Satu-satunya pasal yang menentukan batas minimum bukti adalah dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti... dst”.
Bahwa oleh karenanya, pemaknaan “minimal dua alat bukti” dinilai Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan asas due process of law untuk melindungi hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana, dan sebagai hukum formil dalam proses peradilan pidana di Indonesia, masih terdapat beberapa frasa dalam KUHAP yang memerlukan penjelasan agar terpenuhi asas lex certa serta asas lex stricta agar melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyelidik maupun penyidik.
“Bahwa dengan demikian, seorang penyidik di dalam menentukan ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang";
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah ditetapkan oleh Termohon dan Turut Termohon sebagai Tersangka dalam perkara tipikor yang diduga terjadi di PT Bank Negara Indonesia Syariah yang saat ini telah menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk, dan mengingat perkara pidana yang diduga terjadi adalah tindak pidana korupsi, maka gerbang tahap penyidikan dari perkara pidana yang dilakukan penyidikan adalah tidak bisa lain harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat formiil adalah: terjadinya kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti;
Bahwa apakah maksud dari statement diatas?
a) harus terdapat syarat formiil perusahaan atau lembaga dimana diduga terjadinya kerugian keuangan negara, memang benar kerugian atas transaksi yang terjadi di lembaga dimaksud adalah dapat dinyatakan terjadinya kerugian negara;
b) wajib telah terdapat hasil audit/ pemeriksaan khusus dari lembaga yang berwenang yakni BPK yang telah menyatakan adanya kerugian negara yang nyata dan pasti -vide- Putusan MK RI No 25/PUU-XIV/2016;
Bahwa apabila telah terdapat fakta berupa "pernyataan kerugian keuangan negara yang terjadi secara nyata dan pasti", maka barulah 2 (bukti) bukti permulaan sebagai dasar penetapan tersangka dapat diterapkan untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka;
Bahwa selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II akan terlebih dahulu menguraikan secara singkat kronologis Proses Penyidikan Perkara Tipikor yakni sebagai berikut:
1. Bahwa Kejaksaan Negeri Sumenep incasu Termohon dan Turut Termohon telah melakukan penyidikan atas dugaan perkara tipikor yang diduga terjadi di PT Bank BNI Syariah Kantor Cabang Pembantu Sumenep tahun 2016 dan 2017;
2. Bahwa tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor :
- No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
- No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah diperiksa sebagai Saksi oleh Termohon dan Turut Termohon, namun pada saat pemanggilan ke 2 sebagai saksi, Pemohon I dan Pemohon II langsung ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Penetapan No. 02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I -vide- Bukti P-3 dan P-4; dan No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang kemudian langsung seketika dilakukan penahanan atas diri Pemohon I dan Pemohon II di Rumah Tahanan Negara Kls IIB Sumenep, berdasarkan Surat Perintah Penahanan No. Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 -atas nama Pemohon I dan No. Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II -vide- Bukti: P-5 dan P-6;
Bahwa kemudian, kepada Pemohon I dan Pemohon II oleh Termohon dan Turut Termohon disampaikan Surat perihal : Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyaluran Kredit atau Pembiayaan Pada Bank BNI Syariah Kantor Cabang Pembantu Sumenep Tahun 2016 dan 2017 -vide- Bukti: P-1 dan P-2;
- Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
- Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
4. Bahwa setelah meneliti dengan seksama baik Surat Penetapan sebagai Tersangka maupun Surat Perintah Penahanan atas diri Termohon dan Turut Termohon, pada bagian "mengingat" yang notabene adalah sebagai dasar penerbitan kedua surat dimaksud, ternyata TIDAK TERDAPAT adanya "Perhitungan Kerugian Negara Yang Nyata dan Pasti" yang diterbitkan oleh BPK RI -vide- Bukti: P-1 dan P-2;
Bahwa Mengenai Bukti Permulaan yang Cukup
Bahwa bunyi Pasal 17 - UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang "Hukum Acara Pidana" (“KUHAP”) adalah sebagai berikut:
"perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup"
Bahwa KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP, dan pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Bahwa Pasal 17 KUHAP juga tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi:
"tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana"
Bahwa merujuk pada Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu, namun kemudian, dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 - Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Bahwa alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a) keterangan saksi;
b) keterangan ahli;
c) surat;
d) petunjuk;
e) keterangan terdakwa.
Bahwa Mahkamah Konstitusi beralasan:
"KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”
sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang, dan hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa landasan berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut:
"secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan"
Konsekuensi Pada Proses Penyidikan
Penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan penyidik dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, menjadi “linear” dengan pengambilan keputusan oleh hakim yang menyatakan suatu tindak pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah, dan dalam hal ini, penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan harus didasarkan sekurang-kurang pada:
• adanya Keterangan Saksi dan Surat;
• adanya Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli;
• adanya Surat dan Keterangan Ahli;
Bahwa “Bukti” atau “bukti permulaan” atau “alat bukti” untuk dapat digunakan dalam penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan haruslah diperoleh “dalam hal dan menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang, sehingga:
"bahan keterangan saksi yang diperoleh dalam tahap penyelidikan “harus diambil kembali” dalam rangka penyidikan";
Bahwa dengan demikian, maka Berita Acara Klarifikasi saksi yang dibuat dalam tahap penyelidikan harus diubah dalam format pro justisia berbentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP), demikian pula pendapat ahli yang diperoleh dalam tahap penyelidikan, dibuat lagi substansinya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) seorang Ahli, baik Keterangan Saksi maupun Keterangan (pendapat Ahli) yang diperoleh dari perkara lain (berkaitan spliitzing), sekalipun sudah dimuat dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, harus diambil ulang untuk kepentingan pemeriksaan dalam penyidikan perkara pidana tersebut.
Bahwa dengan demikian pula dengan bukti, bukti permulaan, atau alat bukti surat, yang merupakan barang bukti: harus diperoleh secara resmi, melalui penyitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bahwa pemerolehan surat sebagai barang bukti yang tidak melalui proses yang demikian itu hanya berfungsi sebagai bahan bukti dalam penyelidikan, dan tidak menjadi bukti, bukti permulaan atau alat bukti dalam penyidikan, lain halnya dengan surat-surat yang dikeluarkan instansi yang berwenang yang memang dimintakan penyidikan guna membuat terang suatu perkara pidana yang sedang disidiknya, seperti visum et repertum atau misalnya surat keterangan tentang tanah yang menjadi objek perkara dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), dapat langsung menjadi bukti, bukti permulaan, atau alat bukti tanpa melalui penyitaan.
Bahwa sementara itu Barang Bukti (material evidence) yang semula dapat menjadi “bukti” atau “bukti permulaan” untuk penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan, dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 harus diubah menjadi Surat atau Keterangan Ahli.
Bahwa barang bukti tidak lagi dapat dipandang “bukti” atau “bukti permulan” secara langsung, mengingat dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, konstitusionalitas bersyarat dari pasal-pasal yang diujikan sepanjang dimaknai dengan susunan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, dan sementara alat bukti “petunjuk” dan “keterangan terdakwa” hanya menjadi domain hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan, sehingga tertutup kemungkinannya untuk digunakan dalam proses penyidikan.
Bahwa berdasarkan hal itu pula, keterangan tersangka atau calon tersangka (terlapor) yang untuk sementara diperiksa sebagai saksi, sama sekali tidak menjadi bukti, bukti permulaan, atau alat bukti.
Bahwa dalam Putusan MK RI No. 21/PUU-XII/2014 diisyaratkan bahwa pemeriksaan terhadap calon tersangka hanya sebagai persyaratan tambahan bagi keabsahan dalam penetapan tersangka, sedangkan pemeriksanaan tersangka hanya menjadi syarat kelengkapan berkas perkara dan dalam rangka pemenuhan hak tersangka untuk didengar keterangannya terhadap perkara yang dipersangkakan menurut versinya, atau dengan kata lain, keterangan calon tersangka (terlapor) yang sementara diperiksa sebagai saksi atau keterangan tersangka tidak dapat dijadikan tumpuan pembuktian, karena tidak mempunyai nilai pembuktian untuk membuktikan kebersalahan tersangka atas tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya.
Bahwa hal ini merupakan asas non self incrimination, yang berlaku secara universal, diadakan untuk terwujudkannya due process pada satu sisi dan fair procedure pada sisi yang lain, yang berarti dalam dalam suatu proses penyidikan, seseorang tidak boleh dikatakan telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana hanya karena berdasarkan keterangannya sendiri sebagai tersangka.
Bahwa Termohon dan Turut Termohon telah menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka, dalam perkara pidana Tipikor ketika Pemohon I masih menjabat sebagai Pimpinan Wilayah PT Bank BNI Syariah antara tahun 2016 dan 2017 dan Pemohon II sebagai Pimpinan PT Bank BNI Syariah Cabang Sumenep antara tahun 2015 sampai 2017 dimana Pemohon II kemudian mengundurkan diri pada tahun 2017;
Bahwa penyidikan merupakan langkah awal yang menentukan dari keseluruhan proses penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas, dalam rangka memperoleh keterangan terjadinya tindak pidana tentang :
1. Tindakan pidana apa yang diperbuat
2. Kapan tindakan itu dilaksanakan
3. Dimana tindakan itu dilakukan
4. Dengan alat apa tindakan itu dilakukan
5. Bagaimana tindakan itu terjadi
6. Mengapa tindakan itu dilakukan
7. Siapa pelaku tindakan pidana tersebut
Proses penetapan Tersangka pada ditahap penyidikan dalam rangka mencari keterangan dan kesaksian diatas maka penyidik senantiasa patut dan taat peraturan hukum yang berlaku atau due process of law yang diatur sebab proses penyidikan merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana agar dapat melanjutkan ke proses selanjutnya, apabila terjadi penyimpangan pada tahap ini, maka secara bertahap selanjutnya akan terjadi kendala pada dakwaan sampai dengan putusan hakim yang mengandung unsur ketidakpastian, ketidakmanfaatan, dan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana;
Bahwa pentingnya proses penyidikan perkara sesuai KUHAP, bahwa seorang penyidik harus melakukan wewenangnya secara tertib dan harus memperhatikan batasan-batasan-batasan pada saat proses penetapan Tersangka.
Bahwa sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa minimal 2 (dua) bukti permulaan yang harus dimiliki oleh Termohon dan Turut Termohon adalah kombinasi dari :
- keterangan saksi dan keterangan ahli;
- keterangan saksi dan surat;
- atau keterangan saksi, keterangan ahli dan surat;
Bahwa tidak dimungkinkan tanpa adanya keterangan saksi sebagai salah satu bukti permulaan, namun oleh karena penyidikan yang dilakukan adalah perkara Tipikor, maka alat bukti permulaan harus dan wajib merupakan bukti permulaan yang terkait dengan perkara Tipikor;
antara lain:
- adanya Laporan Hasil Pemeriksaan dari BPK sebagai lembaga / instansi yang berwenang dan telah menyatakan kerugian Negara yang nyata dan pasti;
- adanya Ahli yang dapat menerangkan aturan-aturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa kerugian dari anak perusahaan BUMN adalah termasuk kerugian keuangan Negara;
- adanya keterangan Ahli Tata Usaha Negara yang menerangkan bahwa kedudukan Pemohon selaku Pimpinan Wilayah PT BNI Syariah adalah penyelenggara Negara atau PNS yang memiliki kewenangan;
- adanya dokumen-dokumen otentik pemberian kewenangan yang dimiliki oleh Pemohon yang diberikan oleh Negara;
- adanya saksi yang diperiksa dan mengetahui bahwa dana yang digunakan adalah uang milik Pemerintah secara langsung yang disalahgunakan oleh Pemohon selaku Pengguna Anggaran atau selaku Penanggung Jawab proyek;
- adanya saksi yang mengetahui perbuatan Pemohon secara melawan hukum sehingga yang menjadi prima-causa dari kerugian keuangan yang terjadi;
- adanya saksi yang mengetahui adanya perbuatan Pemohon I dan Pemohon II yang memperkaya diri sendiri atau orang lain;
- adanya saksi yang mengetahui bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah seorang yang memiliki kewenangan untuk menggunakan dana anggaran milik Negara;
- adanya saksi yang dapat menerangkan bahwa perbuatan Pemohon I dan Pemohon II adalah menyebabkan terjadinya kerugian PT BNI Syariah Kantor Cabang Sumenep yang menyebabkan harusnya perusahaan dilakukan pembubaran / dipailitkan sehingga menyebabkan investasi PT Bank BNI 46 (Pesero) sebagai induk perusahaan merugi dan juga harus dibubarkan;
dan selanjutnya :
Pemohon I dan Pemohon II dengan ini mensomeer Termohon dan Turut Termohon untuk dapat menunjukkan syarat formiil untuk dapat melakukan penyidikan suatu perkara Tipikor dan menetapkan tersangka, sebagai dasar dari tindakan upaya paksa yang merupakan kewenangan penyidik incasu Termohon dan Turut Termohon terhadap diri Pemohon I dan Pemohon II selaku tersangka, yakni sebagai berikut:
- apakah sudah ada Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang telah diterbitkan oleh BPK RI ?
- 2 (dua) bukti permulaan apakah yang dimiliki oleh Termohon dan Turut Termohon sehingga Termohon dan Turut Termohon dapat menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka ?;
Bahwa patut diingatkan pula seluruh bukti yang diperoleh adalah harus dan wajib telah dimiliki oleh Termohon dan Turut Termohon sebelum tanggal 20 Februari 2024;
Bahwa patut dan seyogyanya pula Termohon dan Turut Termohon ketika akan menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka, terlebih dahulu melakukan gelar perkara sesudah melakukan pemeriksaan BAP atas diri Pemohon I dan Pemohon II ketika akan berstatus sebagai Calon Tersangka, dan dimaksudkan untuk dapat dilakukan klarifikasi akhir, sehingga dengan sungguh-sungguh hak dari Pemohon I dan Pemohon II ketika menjadi calon tersangka telah terpenuhi;
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II dapat dipastikan telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon dan Turut Termohon dengan secara melawan hukum, apabila Termohon dan Turut Termohon tidak dapat menunjukan adanya Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang telah diterbitkan oleh BPK RI serta minimal 2 (bukti) permulaan yang valid dan berkualitas sebagai bukti permulaan untuk menetapkan diri Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka perkara Tipikor, dan bukan hanya sekedar memiliki bukti permulaan berupa keterangan saksi saja, namun setidaknya yang memiliki kualitas sebagaimana yang telah diuraikan diatas, demikian pula mengenai keterangan ahli dan alat bukti surat;
Bahwa dengan demikian, Surat Penetapan Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka yang telah dikeluarkan oleh Termohon dan Turut Termohon adalah patut dan wajar untuk dipertanyakan dan atau dinyatakan tidak sah dan atau tidak valid;
Bahwa apabila ternyata Termohon dan Turut Termohon tidak memiliki Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang telah diterbitkan oleh BPK RI serta 2 (dua) bukti permulaan sebagai dasar penetapan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka,
m a k a,
berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa:
Penyidikan, Penetapan Sebagai Tersangka serta Penahanan Atas Diri Pemohon I dan Pemohon II Yang Dilakukan Oleh Termohon dan Turut Termohon Adalah TIDAK SAH, TIDAK berdasarkan dan atau TIDAK Bersesuaian dan atau MELANGGAR Hukum / Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku
oleh karena
Telah Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 mengenai "Penetapan Tersangka Harus Didasari Sekurangnya 2 (dua) Bukti Permulaan";
s e h i n g g a,
Surat Perintah Penyidikan, Surat Penetapan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka, Surat Perintah Penahanan atas diri Pemohon I dan Pemohon II serta seluruh dokumen yang terkait dengan penyidikan perkara tipikor yang dilakukan oleh Termohon dan Turut Termohon,
"adalah wajar dan patut dinyatakan Batal Demi Hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan Dibatalkan",
yakni sebagai berikut:
a. Surat Perintah Penyidikan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
b. Surat Perintah Penyidikan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
c. Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I;
d. Surat Penetapan Tersangka Nomor: 02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II;
e. Surat Perintah Penahanan No. Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024;
f. Surat Perintah Penahanan No. Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024;
g. Surat Perpanjangan Penahanan No. B-98/M.5.35/Ft.1/03/2024 tanggal 4 Maret 2024 atas nama Pemohon I; dan
h. Surat Perpanjangan Penahanan No. B-99/M.5.35/Ft.1/03/2024 tanggal 4 Maret 2024 atas nama Pemohon II.
untuk dinyatakan:
"TIDAK SAH"
oleh karena,
telah dilakukan dengan tidak bersesuaian atau bahkan telah dilakukan secara melawan hukum,
dan harus dinyatakan,
Batal Demi Hukum atau Dibatalkan"
**********
I. Penyidikan, Penetapan Sebagai Tersangka serta Penahanan Atas Diri Pemohon I dan Pemohon II Yang Dilakukan Oleh Termohon dan Turut Termohon Adalah TIDAK SAH, TIDAK berdasarkan dan atau TIDAK Bersesuaian dan atau MELANGGAR Hukum / Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku karena Telah Melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.130/PUU-XIII/2015 tgl. 11 Januari 2017 mengenai "kewajiban penyidik menyampaikan SPDP kepada TERLAPOR maksimal 7 (tujuh) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan";
Bahwa Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewenangan pra peradilan yakni mengenai "Kewajiban Penyidik untuk menyampaiakn SPDP kepada Penuntut Umum, Pelapor dan Terlapor" yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yakni sebagai berikut:
Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
Hakim yang kami muliakan
Yth., Sdr. Termohon dan Turut Termohon
Sidang Yang Mulia
Bahwa pasal 109 ayat (1) KUHAP berbunyi sebagai berikut:
"dalam hal penyidik telah memulai melakukan tindakan penyidikan suatu peristiwa tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum",
Sehingga harus dimaknai bahwa setelah adanya pemberitahuan dimulainya penyidikan, telah menjadi langkah awal bagi penuntut umum untuk melakukan kegiatan prapenuntutan perkara yang merupakan sarana koordinasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum selaku pengendali perkara (Dominus litis), adapun kegiatan prapenuntutan itu sendiri adalah tindakan penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut lengkap atau tidak.
Bahwa pengaturan mengenai penyerahan SPDP belum secara jelas atau tidak menyebutkan jangka waktu yang pasti dan tegas dalam implementasinya, sehingga perwujudan akan asas kepastian hukum belum terlaksana dengan baik serta belum memberikan kemanfaatan bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan kasus yang sedang terjadi.
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan angka 3 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 14-PW.07.03/1983:
Bahwa terkait cara pemberitahuan penyidikan, undang-undang tidak menentukan bentuknya, namun cara yang paling dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan tujuan KUHAP yang bermaksud mengarahkan pembinaan dan penyempurnaan administrasi yustisial yaitu:
a. Bahwa Pemberitahuan dilakukan dengan secara tertulis,
Bahwa dari segi praktis dan sekaligus untuk uniformitas tata laksana pemberitahuan, formulir pemberitahuan harus mampu memberi gambaran yang jelas tentang peristiwa pidana yang disidik. Penjelasan yang demikian sangat diperlukan, agar sejak dini penuntut umum dapat mengikuti jalannya penyidikan, dan apabila dianggap perlu memberi petunjuk dalam rangka kesempurnaan penyidikan sesuai dengan maksud yang terkandung pada ketentuan Pasal 14 huruf b KUHAP dan Pasal 110 ayat (3) dan (4) KUHAP;
b. Bahwa ataupun dalam keadaan mendesak dapat dilakukan dengan lisan, asal diikuti dengan pemberitahuan tertulis.
Bahwa fakta yang terjadi selama ini, ternyata SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama, maksud berlangsung lama artinya bahwa tidak ada aturan mengenai tenggang waktu kapan penyidik menyampaikan SPDP kepada penuntut umum. Di samping itu kadang kala SPDP baru disampaikan pada tahap akhir penyidikan, bahkan bersamaan dengan penyerahan berkas perkara hasil penyidikan tindak pidana. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, namun hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law seperti dijamin dalam pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum bukan saja menimbulkan ketidak-pastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor.
Bahwa tanggal 1 Oktober 2015, Choky Risda Ramadhan selaku Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) selaku Pemohon I, Carolus Borromeus Beatrix Tuah Tennes selaku Aktivis Hak Asasi Manusia selaku Pemohon II, Usman Hamid selaku Aktivis Hak Asasi Manusia selaku Pemohon III, serta Andro Supriyanto selaku Musisi Jalanan selaku Pemohon IV, telah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para pemohon dalam perkara ini tergabung dalam berbagai elemen meliputi peneliti, aktivis dan juga sekaligus korban dari ketidak-jelasan koordinasi fungsional penyidik dan penuntut umum, berharap melalui permohonan ini dapat turut aktif dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia guna menjamin kepastian hukum dalam proses peradilan pidana, mencegah adanya perlakuan diskriminatif dan tentunya mengharapkan tercapainya cita-cita konstitusi yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Bahwa Permohonan pengajuan uji materil dilakukan terhadap isi pasal 14 huruf (b) dan huruf (i) KUHAP, pasal 109 ayat (1) KUHAP, pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP dan pasal 139 KUHAP.
Bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan uji materiil yang telah diajukan permohonannya dan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tidak hanya sekedar memberikan perubahan kepada rumusan pasal 109 ayat (1) KUHAP akan tetapi penekanan konsep hukum acara pidana yang berlaku. Keberadaan Putusan membawa problematika tersendiri dalam hukum acara pidana Indonesia yang berlaku selama ini sehingga kajian terhadap Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) penting dilakukan berdasarkan asas hukum acara pidana dan jaminan hak asasi manusia. Metode penelitian yuridis normatif menganalisis pertimbangan Mahkamah Konstitusi menurut asas hukum acara pidana, ketentuan hukum yang berlaku dan instumen hukum internsional dan nasional terkait Hak Asasi Manusia. Hasil analisis yang diperoleh antara lain:
pertama, keharusan pemberitahuan SPDP kepada tersangka, korban, dan penuntut umum menunjukkan adanya pergeseran konsep Crime Control Model ke konsep Due Process Model sekaligus sebuah terobosan hukum yang didasarkan pada 7 (tujuh) asas hukum acara pidana yang berlaku.
Bahwa Mahkamah Konstitusi menunjukkan konsistensi sistem acara pidana yang mengedepankan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum sebagai integrated criminal justice system;
Kedua, Pemahaman akan arti penting penyampaian SPDP juga memenuhi Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh tersangka, korban dan Negara.
The Decision of Constitutional Court Number 130/PUU-XIII/2015 did not only change the formula of Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code, but also the focus of the legal concept of the law in order. The existence of the decision has brought problems in the Criminal Code in effect, so the analysis of the Notification Letter of the Commencement of Investigation is important based on the legal base of the Criminal Code and the guarantee of human rights. A normative juridical method was used in analyzing the consideration of the Constitutional Court according to the Criminal Code, the provisions which were in effect and international and national legal instruments related to the human rights. The result of the analysis showed that, first, SPDP must be issued to the suspect, victim, and the prosecutor to show the movement of the concept of crime control model to the concept of due process model as well as a legal breakthrough based on the seven bases of the Criminal Code in effect. The Constitutional Court showed the consistency in the system of crime which put forward the principal of functional differentiation between the investigator and the prosecutor as the integrated criminal justice system; secondly, the understanding of the important meaning of issuing SPDP also fulfilled human rights of the suspect, the victim, and the country;
Bahwa sehingga dengan demikian, maka pasal 109 ayat (1) KUHAP menyatakan
“dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.
Dalam penjelasan pasal ini tidak ditentukan jangka waktu yang pasti kapan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) harus diserahkan penyidik kepada Jaksa. Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor dan korban dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan.
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II akan terlebih dahulu menguraikan secara singkat kronologis Proses Penyidikan Perkara Tipikor yakni sebagai berikut:
1. Bahwa Kejaksaan Negeri Sumenep incasu Termohon dan Turut Termohon telah melakukan penyidikan atas dugaan perkara tipikor yang diduga terjadi di PT Bank BNI Syariah Kantor Cabang Pembantu Sumenep tahun 2016 dan 2017;
2. Bahwa tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor :
a. Surat Perintah Penyidikan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon I yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
b. Surat Perintah Penyidikan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 jo. Sprindik No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 atas nama Pemohon II yang dilakukan penyidikannya oleh Termohon dan Turut Termohon;
catatan: kedua nomor sprindik diatas diketahui oleh karena tercantum dalam Surat Penetapan Tersangka Bukti: P-3 serta Bukti: P-4;
3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah diperiksa sebagai Saksi oleh Termohon dan Turut Termohon dan pada saat pemanggilan ke 2 sebagai saksi, Pemohon I dan Pemohon II langsung ditetapkan sebagai Tersangka dan seketika langsung saat itu juga dilakukan penahanan atas diri Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan vide: Bukti P-5 dan P-6;
4. Bahwa kemudian, kepada Pemohon I dan Pemohon II oleh Termohon dan Turut Termohon disampaikan Surat No: Print-02/M.5.35/Ft.1/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 dan No: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 perihal : Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penyaluran Kredit atau Pembiayaan Pada PT Bank BNI Syariah Kantor Cabang Pembantu Sumenep Tahun 2016 dan 2017 -vide- Bukti: P-1 dan P-2
5. Bahwa seharusnya dokumen SPDP tersebut diberikan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai Terlapor bukan pada saat Pemohon menjadi Tersangka; dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep yang pertama yakni dengan Nomor: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tanggal 19 Oktober 2023 atas nama Pemohon I dan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023 atas nama Pemohon II, batas waktu penyerahan kepada Terlapor adalah 7 (tujuh) hari setelah tanggal 19 Oktober 2023, yakni tanggal 26 Oktober 2023, sehingga dalam hal ini Pemohon I dan Pemohon II mensomeer Termohon dan Turut Termohon apakah dapat menunjukkan Bukti Pengiriman atau Bukti Penerimaan SPDP kepada atau yang ditelah diterima oleh Terlapor incasu Pemohon I dan Pemohon II.
6. Bahwa dengan demikian, terdapat kewajiban dari Termohon dan Turut Termohon untuk menyampaikan pemberitahuan kepada Pemohon I dan Pemohon II ketika berstatus TERLAPOR yakni:
- Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tanggal 19 Oktober 2023, untuk diberitahukan kepada Pemohon I selambatnya pada tanggal 26 Oktober 2023;
- Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor: Print-02/M.5.35/Fd.2/02/2024 tanggal 20 Februari 2024 untuk diberitahukan kepada Pemohon I selambatnya pada tanggal 27 Februari 2024;
- Surat Perintah Penyidikan No: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tgl. 19 Oktober 2023, untuk diberitahukan kepada Pemohon II selambatnya pada tanggal 26 Oktober 2023;
- Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor: Print-03/M.5.35/Fd.2/02/2023 tgl. 20 Februari 2024 untuk diberitahukan kepada Pemohon II selambatnya pada tanggal 27 Februari 2024;
7. Bahwa apabila ternyata Termohon dan Turut Termohon tidak pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Pemohon I dan Penohon II atas penerbitan sprindik ke-1 tertanggal 19 Oktober 2023 sebagaimana HAK HUKUM Pemohon yang telah diatur dan dijamin oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Putusan No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017;
untuk memperoleh:
- Surat Pemberitahuan mengenai dimulainya penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tanggal 19 Oktober 2023;
yang telah diterbitkan oleh Termohon dan Turut Termohon dan hal tersebut sepenuhnya merupakan KEWAJIBAN dari Termohon dan Turut Termohon untuk disampaikan kepada Pemohon I dan Pemohon II selaku Terlapor selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari atas masing-masing Sprindik sejak diterbitkan;
d a n,
adalah kewajiban Termohon dan Turut Termohon untuk menyampaikan Sprindik Nomor:
- Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Sumenep Nomor: Print-04/M.5.35/Fd.2/10/2023 tanggal 19 Oktober 2023
untuk disampaikan kepada Pemohon I dan Pemohon II adalah:
"ketika Pemohon I dan Pemohon II masih berstatus TERLAPOR, jadi BUKAN ketika Pemohon I dan Pemohon II telah berstatus TERSANGKA";
Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 berbunyi sebagai berikut:
Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
Bahwa sebagaimana yang kita ketahui, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat "imperatif" dan tidak untuk ditafsirkan kembali, dan atau dibuat penafsiran sendiri oleh pelaksana Undang-undang, sehingga Putusan MK RI No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 memuat suatu perintah / instruksi kepada penegak hukum dalam hal ini "Penyidik" dalam suatu perkara pidana adalah wajib melakukan tindakan sebagai berikut:
1. Memberitahukan dan menyerahkan SPDP (Surat Pemberitahuan / Perintah Dimulainya Penyidikan) kepada pihak-pihak yakni:
- Penuntut Umum;
- Terlapor dan,
- Korban/Pelapor;
2. Tindakan sebagaimana pada angka 1 diatas yakni pemberitahuan SPDP kepada pihak-pihak dimaksud adalah paling lambat atau selambatnya adalah 7 (tujuh) hari sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan;
Bahwa Putusan MK RI adalah TIDAK DIPERKENANkan untuk ditafsirkan lain, sehingga "SPDP harus diserahkan kepada pihak-pihak yang disebutkan", dan juga BUKAN disampaikan kepada keluarganya,
Serta
"SPDP dimaksud harus merupakan surat yang ditujukan berupa ASLI, bukan berupa tembusan saja" karena para pihak yang secara jelas dan tegas disebutkan adalah pihak yang memiliki kepentingan dan keterkaitan secara langsung;
dan untuk memahami Putusan MK RI No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, maka terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP dimaksudkan untuk memberikan pengertian kapankah saatnya dimulai suatu tindakan penyidikan. Pasal ini sangat penting karena selain menentukan dimulainya suatu tindakan penyidikan pasal ini dalam penjelasan pasalnya juga menjelaskan tentang prosedur atau tatacara pemberitahuan dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP.
Bahwa salah satu tugas dari prapenuntutan adalah mengikuti perkembangan penyidikan tindak pidana, maka kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP merupakan kegiatan awal prapenuntutan yang melibatkan penyidik dan penuntut umum karena pada saat penuntut umum menerima pemberitahuan tentang penyidikan tersebut, maka penuntut umum turut aktif untuk mengikuti perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam bentuk koordinasi.
Bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP mengandung arti bahwa sejak penuntut umum menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan, penuntut umum tidak hanya tinggal diam untuk menunggu hasil penyidikan berupa berkas perkara tetapi penunjukan tersebut semata-mata memberikan tugas kepada penuntut umum untuk memantau perkembangan penyidikan guna mencapai hasil penyidikan yang maksimal.
Bahwa KUHAP dibentuk dengan tujuan untuk mengatur hukum acara pidana secara nasional yang mendasarkan pada falsafah hidup bangsa dan dasar negara dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
Bahwa dalam KUHAP diatur juga tentang asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia secara garis besar dan telah berkesesuaian pula dengan UUD 1945 di antaranya sebagai berikut:
1) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2) Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang-Undang kecuali dalam hal tertangkap tangan;
3) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4) Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi;
5) Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
6) Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk kepentingan pembelaan atas dirinya;
7) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan, selain wajib diberitahu tentang sangkaan dan dasar hukum apa yang disangkakan kepa |