Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SUMENEP
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2024/PN Smp 1.SA'ENA Binti HAMSUDIN
2.HONDIYAH Als. OON Binti ETTO
1.KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
2.KEPALA KEPOLISIAN DAERAH JAWA TIMUR
3.KEPALA KEPOLISIAN RESORT SUMENEP, Cq. KASAT RESKRIM POLRES SUMENEP
Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 01 Feb. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2024/PN Smp
Tanggal Surat Kamis, 01 Feb. 2024
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1SA'ENA Binti HAMSUDIN
2HONDIYAH Als. OON Binti ETTO
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
2KEPALA KEPOLISIAN DAERAH JAWA TIMUR
3KEPALA KEPOLISIAN RESORT SUMENEP, Cq. KASAT RESKRIM POLRES SUMENEP
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Perihal : PERMOHONAN PRAPERADILAN atas Nama
SA’ENA Binti HAMSUDIN dan HONDIYAH Als. OON Binti ETTO

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : ANDI KHAIRUL ANWAR S.H.
Tempat dan tanggal lahir : Sumenep, 17 JULI 1982
Alamat : RT/RW 02/02 Dusun Talaga Desa Kombang Kec. Talango
Kab. Sumenep Jawa Timur.
Nomor Induk KTPA : 10.00940
Tanggal berlaku KTPA : 31-12-2024
Advokat & Konsultan Hukum yang Berkedudukan/Beralamat di Jln Raya Bakalan
Pos 02 RT/RW : 02/01 Desa Bakalan Kec. Bululawang Kab. Malang Kode Pos 65171. /
RT/RW 02/02 Dusun Talaga Desa Kombang Kec. Talango Kab. Sumenep Jawa Timur.
Telp/WA. 083837771000, 082131048889 e-mail andycha@ymail.com Berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tertanggal 11 Desember 2024 Baik secara bersama-sama maupun sendiri-
sendiri bertindak untuk dan atas nama serta mewakili :
1. Nama : SA’ENA Binti HAMSUDIN
Tempat / Tanggal Lahir : SUMENEP, 05 JULI 1975
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Gunung Malang RT/RW 02/014 Desa Poteran
Kec. Talango Kab. Sumenep Jawa Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani/pekebun
Warga Negara : Indonesia / Suku Madura
NIK : 3529044507750008
2. Nama : HONDIYAH Als. OON Binti ETTO
Tempat / Tanggal Lahir : SUMENEP, 19 Februari 1988
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Talaga RT/RW 03/02 Desa Kombang
Kec. Talango Kab. Sumenep Jawa Timur
Agama : Islam
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Warga Negara : Indonesia / Suku Madura
NIK : 3529045902880002
Selanjutnya disebut sebagai para PEMOHON

——————————– M E L A W A N ——————————–
1. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA,
Beralamat di Jln. Trunojoyo No.32, RT/RW 2/1 Kel. Selong, Kec. Kebayoran baru
Kota Jakarta selatan DKI Jakarta 12110.
2. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH JAWA TIMUR,
Beralamat di Jln. Ahmad yani No.116, Kel. Gayungan, Kec.Wonocolo, Kota
Surabaya, Jawa Timur, 60231.
3. KEPALA KEPOLISIAN RESORT SUMENEP,
Cq. KASAT RESKRIM POLRES SUMENEP
Beralamat di Jln. Urip Sumoharjo No. 35, Kel. Pabian, Kec. Kota, Kab. Sumenep,
Jawa Timur 69417.
Selanjutnya disebut sebagai Para TERMOHON
Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka
dan Penyitaan Barang Bukti serta Rehabilitasi dalam dugaan Tindak Pidana
pengeroyokan/Penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan/atau 351 Jo 55
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Resort Sumenep
Adapun yang menjadi alasan pemohon dalam mengajukan permohonan Praperadilan
ini adalah sebagai berikut :
DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan
melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan
perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan
merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada
kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum
Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu,
Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan
sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan
tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal
terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide
Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik dalam
melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan,
penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan
prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
2. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

- Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.”
3. Bahwa selain itu yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
- Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
I. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
II. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
4. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, seringkali tidak dapat menjangkau fakta perlakuan
aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang,
sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari
Negara. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang
demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di
negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan
bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm)
Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang
prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum
yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan
cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan
nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif
yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang
merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
5. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April
2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan yang dapat memeriksa dan dan
mengadili keabsahan penetapan tersangka;
6. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-
XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian
dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final
dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus
melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
7. Prapradilan dilakukan Pula Terkait Hak Asasi Manusia, Seseorang Dilindungi secara
Hukum, baik dalam Proses Penyidikan dan Penuntutan dijadikan Obyek ketidak adilan
pada Hukum berlaku di Indonesia, sesuai UUD 1945, Pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi, “Setiap Orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM “Setiap Orang Berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang sama didepan hukum”.

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN
KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN
HUKUM
1. Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak
azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas
praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya
kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat
3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk
terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang
kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara
wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini
lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai
pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan
utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah
dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai
pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan
akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan
yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo
kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan
dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan
berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin
adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang
essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham
‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan
analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu
merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
3. Bahwa kronologis singkat perkara yang terjadi Berawal adanya jalur kabel listrik
yang putus dimana terminal listrik (skakel) tersebut di titipkan di rumah Sdri Askiyah
(korban) yakni pada saat Sdr. SAAT di atas pohon untuk membetulkan kabel PLN
yang bermasalah, menyuruh Sdri HONDIYAH Als. OON Binti ETTO (terlapor 2)
untuk menghidupkan kilometer yang ada di rumah korban untuk memastikannya.
Berangkatlah terlapor 2 menuju terminal listik yang ada dirumah korban sambil
mengendong anaknya yang masih balita, sesampainya didepan rumah korban, terlapor
2 memanggil korban guna meminta ijin menghidupkan skakel yang semula dalam
posisi off, karena korban dipanggil berkali-kali tidak ada jawaban namun tiba-tiba
korban keluar dari dalam rumah sambil berlari menuju terlapor 2, kemudian
menjambak rambut dan menarik kain gendongan bayi di pundaknya, dengan spontan
terlapor 2 jongkok dan mendekap bayinya agar tidak jatuh ke tanah sambil berteriak

kaget, lalu korban ikut merunduk sambil mengambil batu kerikil untuk kemudian di
lemparkah ke kepala terlapor 2 dan bayinya, dimana terlapor 2 hanya bisa berteriak
minta tolong sambil mendekap bayinya. Dan ternyata Sdri. SA’ENA Binti
HAMSUDIN (terlapor 1) mendengar terikan anaknya yakni terlapor 2, terlapor 1
spontan berlari kearah korban yang memengang batu kerikil di tangannya. Setelah
sampai dan berhasil merebut batu kerikil di tangan korban terlapor 1 memapah
terlapor 2 dan cucunya untuk berdiri kemudian berlari guna menyelamatkan diri dari
amukan korban menuju rumahnya yang tak jauh dari tempat kejadian (rumah
pelapor). setelah menyelamatkan diri yakni sesampainya terlapor 1 dan terlapor 2 di
halaman rumah sambil melihat ke tempat kejadian (rumah pelapor dan korban) ada
sdr. Anwari (suami korban) yang baru datang langsung memarahi korban sambil
memukulnya hingga korban jatuh dan mengenai kursi, sambil berkata dengan nada
tinggi “Alajjei nak kanak kenek..Matodusen bekna” dimana kejadian ini di saksikan
oleh tetangga dan beberapa orang yang kebetulan lewat di area tersebut. Di antaranya
Sdr. SUJIBNO. Karena malu dengan tetangga yang menyaksikan selanjutnya sdr.
Anwari (suami korban) melaporkan kejadian ini sebagai pengerokan oleh para
terlapor (memutar balikkan fakta)
4. Bahwa dengan demikian fakta yuridis sebenarnya adalah kekerasa dalam rumah
tangga (KDRT) yang di lakukan oleh Sdr. Anwari (pelapor) yang merupakan suami
dari korban. Dan penganiayaan yang di lakukan oleh korban kepada terlapor 2 dan
bayinya. Dimana terlapor 1/ pemohon membela diri yang penyelamatan atas anak dan
cucunya.
5. Bahwa penyidik dalam perkara aquo jelas mengeyampingkan asas presumption
of innosence dan Perkara ini murni kriminalisasi atas para pemohon/terlapor
yang sebenarnya korban dalam kejadian ini namun dengan tidak dimintai
keterangan atau memeriksa sebagai saksi oleh termohon atas Sdr. Saat yang
melihat kejadian dari atas pohon dan Sdr. Sujibno yang kebetulan lewat di
lokasi pada saat kejadian perkara.
PENYIDIKAN TERHADAP LAPORAN POLISI NOMOR: LP/B/274/
X/2023/SPKT/RES SUMENEP/POLDA JATIM, TERTANGGAL 24 OKTOBER 2023;
BESERTA PENETAPAN TERSANGKA YANG DITERBITKAN OLEH
TERMOHON TERKESAN DI PAKSAKAN DAN PREMATURE.
I. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
1. Bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon
berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon
dengan dan Nomor SPG/73/I/2024/satreskrim tertanggal 29 Januari 2024 dan Nomor
SPG/74/I/2024/satreskrim tertanggal 29 Januari 2024. Bahwa apabila mengacu
kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada
Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
2. Bahwa setelah terbit LP/B/274/ X/2023/SPKT/Res sumenep/Polda jatim, tertanggal
24 Oktober 2023; termohon langsung menerbitkan surat perintah penyidikan nomor :
Sprint – sidik/908/XI/2023/Satreskrim tertanggal 20 Nov 2023 Tanpa di dahului
dengan surat perintah lidik.

3. Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap,
S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian
dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan
“penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri
sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak
terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku
petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara
atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain,
yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas
kepada penuntut umum. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi
sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat
penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti
yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan
dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan
menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga
merupakan tindak pidana. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa
jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan
tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan
penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah
melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih
dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut
penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada
penyelidikan atas nama Pemohon.
4. Bahwa Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan
penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan
dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah
diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan
penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan
tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
5. Bahwa mengingat Hukum Pidana adalah upaya hukum terakhir (ultimum
remedium) maka haruslah upaya-upaya tersebut diatas ditempuh oleh para
pihak, atau sudah menjadi kompetensi dan kewajiban dari Termohon untuk
mengetahui dan menerapkan hal-hal tersebut diatas kepada masyarakat, kecuali
ada tendensi / kepentingan pribadi yang mempengaruhi subjektivitas Termohon
dalam menjalankan Tugas dan Jabatannya.
6. Bahwa kejanggalan serta keanehan sebagaimana diuraikan diatas
memperlihatkan tindakan Termohon yang tidak melaksanakan Prinsip kehati-
hatian, serta tidak menggali secara mendalam mengenai fakta-fakta materiil,
dengan melakukan serangkaian tindakan mal administrasi, sehingga dalam
kesempatan Praperadilan ini untuk menguji bahwa proses penyelidikan dan
penyidikan tidak menyalahi administrasi penyidikan yang dapat menyebabkan
penetapan tersangaka menjadi cacat hukum dan tidak sah, serta memberikan
kepastian hukum bagi semua pihak, maka Pemohon juga hendak menanyakan
dan ingin mengetahui mengenai beberapa hal sebagai berikut supaya Hakim

Pemeriksa Perkara Praperadilan ini memerintahkan kepada Termohon utuk
membuktikan keabsahan formil dimuka persidangan tentang:
a. Sertifikasi atas Penyidik dan Penyidik Pembantu yang menangani Laporan
Polisi A quo;
b. Keabsahan atas tindakan penyitaan dan penetapan barang bukti oleh
Termohon dalam perkara ini;
c. Keabsahan terhadap Penunjukan dan Kompetensi dari Saksi Ahli yang di
tunjuk oleh Termohon dalam penanganan perkara ini;
d. Disposisi Kapolres Sumenep terhadap seluruh rangkaian proses
Penyelidikan dan Penyidikan atas Laporan Polisi Nomor :
LP/B/247/X/2023/SPKT/POLRES Sumenep/Polda jatim, Tertanggal 24
Oktober 2023;, beserta buku register disposisi Kapolres Sumenep untuk
melihat bahwa hal tersebut benar-benar tidak dimanipulasi oleh Termohon
dan telah diketahui serta mendapatkan petunjuk dari Kapolres Sumenep
selaku Atasan Penyidik, sebab apabila tidak terdapat Disposisi dari atasan
Penyidik terhadap setiap rangkaian proses Penyelidikan dan Penyidikan
Laporan Polisi A quo, maka dapat diduga telah terjadi mal administrasi,
sehingga dapat disimpulkan Penyidik bertindak BUKAN atas nama
Kepolisian Republik Indonesia namun bertindak atas dirinya sendiri
selaku Kasat Reskrim;
e. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) nomor: B/18/I/res
1.6 2024/Sat Reskrim, tertanggal 29 januari 2024 atas Laporan Polisi A quo
yang baru di kirim bersamaan dengan penetapan tersangka.
7. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang
melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan
wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang
dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan
di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu.
Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa
“pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu
yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan
lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang),
yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan
ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk
menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian
dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
8. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan
kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga
tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka
Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan
peraturan-perundang undangan yang berlaku.
9. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo
sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini
dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut
Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
 “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
 Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat
dibatalkan
10. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila
dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada
Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan
ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri
sumenep yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan
bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon
dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut
hukum.

II. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON
SEBAGAI TERSANGKA
1. Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan tindak pidana
pengeroyokan / penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 351
jo 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh penyidik kepada Pemohon hanya
berdasar pada 2 Keterangan Saksi (korban dan terlapor), 1 keterangan ahli, dan 1
dokumen yang telah disita,
2. Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-
XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti
Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh
Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti”
sesuai dengan pasal 184 KUHAP
3. Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap
terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan
Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana pengeroyokan /
penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 351 jo 55 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana oleh reserse polres sumenep kepada Pemohon,
mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada
alat bukti yang hanya diajukan oleh pelapor tanpa memeriksa alat bukti oleh
pemohon

4. Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal
2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan
nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar
atas hukum.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XI1/2014, istilah "bukti",
“bukti permulaan", dan "alat bukti", sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2
dan angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1), serta Pasal 184 KUHAP, secara
substansial tidak lagi memiliki perbedaan makna. Perbedaannya tinggal terletak pada
aspek formalitasnya. Maksudnya, perbedaan istilah-istilah tersebut ditentukan oleh tata
cara pemerolehannya dan tentu penggunaanya. Dalam hal ini, prosedur
pemerolehannya menyebabkan suatu hal menjadi "bukti permulaan", atau justru
sebagai "alat bukti". Oleh karena itu, dengan ini Mahkamah Konstitusi ingin
menegaskan bahwa penggunaan istilah-istilah tersebut tidak dimaksudkan sebagai suatu
bentuk sarana pembuktian, melainkan semata-mata hanya berkenaan dengan tempat
penggunaanya. Selain itu, istilah "yang cukup" atau "cukup" yang melekat pada istilah
"bukti", "bukti permulaan", dan “alat bukti", baik yang mendahului atau dibelakangnya,
sama sekali tidak berbeda dari segi kuantitasnya satu dengan yang lain. Kesemuanya
harus dimaknai berhubung dengan ketentuan minimal yang harus ada sebelum suatu
keputusan dalam proses penyidikan dilakukan. Dalam hal ini, hukum menentukan
sekurang-kurangnya terdapat dua "bukti", "bukti permulaan", atau "alat bukti", untuk
dapat dikatakan memenuhi persyaratan (yang cukup atau cukup).
Dalam hal ini untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau melakukan
penahanan harus didasarkan pada minimal dua bukti untuk dapat dikatakan memenuhi
persyaratan ("yang cukup" atau "cukup"), sedangkan untuk melakukan penangkapan
harus didasarkan minimal dua bukti permulaan untuk dapat dikatakan memenuhi
persyaratan ("yang cukup" atau "cukup"). Keharusan adanya minimal dua bukti atau
bukti permulaan itu, sebangun kriteria yang digunakan oleh hakim untuk menyatakan
seseorang melakukan tindak pidana dan bersalah oleh karenanya, yaitu dengan minimal
dua alat bukti untuk dapat dikatakan memenuhi persyaratan ("yang cukup" atau
"cukup").
Pengetatan kriteria itu, dimaksudkan Mahkamah Konstitusi untuk menjamin
proses dan prosedur yang ditentukan dalam Hukum Pidana formiel (Hukum Acara
Pidana) benar-benar mengacu pada asas legalitas (principle of legality), yang termaktub
dalam Pasal 3 KUHAP (peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini), sehingga Hukum Acara Pidana juga memiliki sifat lex scripta, lex stricta,
lex certa, sebagai komponen dasar dari asas legalitas. Dalam hal ini tekanan pengaturan
Hukum Acara Pidana ada menyebabkan setiap proses (pengurangan hak individu) yang
dijalankan oleh aparatur peradilan pidana berlangsung secara lebih "ketat".
Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengaturan terkait dengan definisi yang
sifatnya operasional yang selama ini ada dan menjadi acuan, tidak lagi dapat dijadikan
rujukan, seperti : Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman,
Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984,
No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol Kep/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi
dalam penanganan Perkara Pidana dan pada Peraturan Kapolri No. Pol.
SKEP/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana jo.
Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang pengawasan dan pengendalian
penanganan perkara Pidana.
Keputusan penyidik melakukan penetapan tersangka, penangkapan dan
penahanan, sekarang ini dengan adanya Putusan MK No. 21/PUU-XI1/2014, menjadi
"linear" dengan pengambilan keputusan oleh hakim melalui putusannya yang

menyatakan suatu tindak pidana telah terbukti dan terdakwa bersalah oleh karenanya.
Dalam hal ini, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus didasarkan
sekurang-kurang pada :
a. Adanya Keterangan Saksi dan Surat;
b. Adanya Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli;
c. Adanya Surat dan Keterangan Ahli

Pihak Dipublikasikan Ya